Kisah Sahabat Mush'ab bin Umair
Posted on | Sabtu, 02 Mei 2015 | No Comments
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Sudah lama rasanya saya tidak
memposting artikel di blog dikarenakan ada beberapa hal, artikel di blog ini
pun sudah banyak saya rombak dan saya ubah sehingga hanya tinggal beberapa saja
atikel yang masih tersisa. Hal ini dikarenakan akhir akhir ini alhamdulillah
saya sering mendengarkan ceramah dari ustad yang insyaallah sunnah, karena
untuk posting saya sendiri juga masih bingung untuk mempost artikel apa, maka
dari itu artikel kali ini hanya biasa copas dari blog lain, dan ini benar benar
copas 100% mungkin, jadi mohon maaf dan terimakasih kepada era muslim, walaupun
saya belum minta izin hehe,
Ini dia
linknya : http://www.eramuslim.com/suara-langit/undangan-surga/duta-pertama-islam-mush-ab-bin-umair.htm#.VUQQ2Cz7w2w
Artikel kali
ini bercerita tentang salah satu sahabat rasul saw yang menjadi favorit saya,
sosok yg luar biasa yang saya selalu berharap bisa bertemu dengan orang yang
memiliki kepribadian seperti belia Mush’ab bin Umair RA, terlebih lagi saya
berharap memiliki sifat seperti beliau amin, semoga kisah ini bisa
menginspirasi kita semua dan membuat kita menjadi pribadi yang lebih baik ,
amin,,,
Selamat membaca dan jazaakumullahu
khoiron katsiro,,
Di antara sahabat Rasulullah shollallahu ’alaih wa
sallam yang memiliki semangat dan kepiawaian dalam menjalankan tugas da’wah
ialah Mush’ab bin Umair. Ia terhitung salah seorang as-Sabiqun al-Awwaluun
(pionir pemeluk Islam). Sahabat yang satu ini sudah memperlihatkan kehanifan
dan kecintaannya kepada iman sejak awal kali ia mendengar soal Muhammad bin
Abdullah shollallahu ’alaih wa sallam yang mengaku sebagai
Nabi terakhir utusan Allah
. Coba perhatikan bagaimana Khalid Muhammad
Khalid menggambarkan soal keislamannya di dalam buku Karakteristik Perihidup
Enampuluh Shahabat Rasulullah:Baru saja Mush’ab mengambil tempat duduknya, ayat-ayat al-Quran mulai mengalir dari kalbu Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bergema melalui kedua bibirnya dan sampai ke telinga, meresap di hati para pendengar. Di senja itu Mush’ab pun terpesona oleh untaian kalimat Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam yang tepat menemui sasaran pada kalbunya.
Hampir saja
anak muda itu terangkat dari tempat duduknya karena rasa haru, dan serasa
terbang ia karena gembira. Tetapi Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam
mengulurkan tangannya yang penuh berkat dan kasih sayang dan mengurut dada
pemuda yang sedang panas bergejolak, hingga tiba-tiba menjadi sebuah lubuk hati
yang tenang dan damai, tak obah bagai lautan yang teduh dan dalam. Pemuda yang
telah Islam dan Iman itu nampak telah memiliki ilmu dan hikmah yang luas –
berlipat ganda dari ukuran usianya – dan mempunyai kepekatan hati yang mampu
merubah jalan sejarah.
Memang, Mush’ab bin Umair bukan
sembarang lelaki. Ketika di masa jahiliyyah, ia dikenal sebagai pemuda dambaan
kaum wanita. Ia adalah seorang pemuda ganteng yang dikenal sangat perlente.
Bila ia menghadiri sebuah perkumpulan ia segera menjadi magnet pemikat semua
orang terutama kaum wanita. Gemerlap pakaiannya dan keluwesannya bergaul
sungguh mempesona. Namun sesudah memeluk Islam, ia berubah samasekali.
Beginilah gambaran penulis buku yang sama:
Pada suatu
hari ia tampil di hadapan beberapa orang muslimin yang sedang duduk sekeliling
Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam. Demi memandang Mush’ab, mereka sama
menundukkan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya basah
karena duka. Mereka melihat Mush’ab memakai jubah usang yang bertambal–tambal,
padahal belum lagi hilang dari ingatan mereka – pakaiannya sebelum masuk Islam
– tak obahnya bagaikan kembang di taman, berwarna-warni dan menghamburkan bau
yang wangi.
Adapun
Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam, menatapnya dengan pandangan penuh
arti, disertai cinta kasih dan syukur dalam hati, pada kedua bibirnya
tersungging senyuman mulia seraya bersabda :
“Dahulu saya
lihat Mush’ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari
orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan
Rasul-Nya.”
Demikianlah,
Mush’ab menjadi seorang yang meninggalkan kebanggan palsu dunia dan
menggantikannya dengan kemuliaan hakiki akhirat. Tidak mengherankan bila
akhirnya Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam menunjuknya untuk
menjadi duta pertama Islam berda’wah di Madinah. Beginilah gambarannya:
Suatu saat
Mush’ab dipilih Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam untuk melakukan suatu
tugas maha penting saat itu. Ia menjadi duta atau utusan Rasul ke Madinah untuk
mengajarkan seluk beluk Agama kepada orang – orang Anshar yang telah beriman
dan baiat kepada Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam di bukti Aqabah. Disamping itu mengajak
orang-orang lain untuk menganut agama Allah, serta mempersiapkan kota Madinah
untuk menyambut hijrah Rasul sebagai peristiwa besar.
Sebenarnya
di kalangan sahabat ketika itu masih banyak yang lebih tua, lebih berpengaruh
dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah daripada Mush’ab.
Tetapi Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam menjatuhkan pilihannya kepada
“Mush’ab yang baik”. Dan bukan tidak menyadari sepenuhnya bahwa beliau
telah memikulkan tugas amat penting ke atas pundak pemuda itu, dan menyerahkan
kepadanya tanggung jawab nasib agama Islam di kota Madinah, suatu kota yang tak
lama lagi akan menjadi kota tempatan atau kota hijrah, pusat dari dai dan
dakwah, tempat berhimpunnya penyebar Agama dan pembela al-Islam.
Mush’ab
memikul amanat itu dengan bekal karunia Allah kepadanya berupa fikiran yang
cerdas dan budi yang luhur. Dengan sifat zuhud, kejujuran dan kesungguhan hati,
ia berhasil melunakkan dan menawan hati penduduk Madinah hingga mereka
berduyun-duyun masuk Islam.
Sesampainya
di Madinah, didapatinya Kaum Muslimin di sana tidak lebih dari dua belas orang,
yakni hanya orang-orang yang telah baiat di bukit Aqabah. Tetapi tiada sampai
beberapa bulan kemudian, meningkatlah orang yang sama-sama memenuhi panggilan
Allah dan Rasul-Nya.
Pernah ia menghadapi beberapa peristiwa yang mengancam
keselamatan diri serta sahabatnya, yang nyaris celaka kalau tidak karena
kecerdasan akal dan kebesaran jiwanya. Suatu hari, ketika ia sedang memberikan
petuah kepada orang-orang, tiga-tiba disergap Usaid bin Hudlair kepala suku
kabilah Abdul Asyhal di Madinah. Usaid menodong Mush’ab dengan menyentakkan
lembingnya. Bukan main marah dan murkanya Usaid, menyaksikan Mush’ab yang
dianggap akan mengacau dan menyelewengkan anak buahnya dari agama mereka, serta
mengemukakan Allah Yang Maha Esa yang belum pernah mereka kenal dan dengar
sebelum itu. Padahal menurut anggapan Usaid, tuhan-tuhan mereka yang bersimpuh
lena di tempatnya masing-masing mudah dihubungi secara kongkrit. Jika seseorang
memerlukan salah satu diantaranya, tentulah ia akan mengetahui tempatnya dan
segera pergi mengunjunginya untuk memaparkan kesulitan serta menyampaikan
permohonan. Demikianlah yang tergambar dan terbayang dalam fikiran suku Abdul
Asyhal. Tetapi Tuhannya Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam – yang
diserukan beribadah kepada-Nya – oleh utusan yang datang kepada mereka itu,
tiadalah yang mengetahui tempat-Nya dan tak seorangpun yang dapat melihat-Nya.
Demi dilihat
kedatangan Usaid bin Hudlair yang murka bagaikan api sedang berkobar kepada
orang-orang Islam yang duduk bersama Mush’ab, mereka pun merasa kecut dan
takut. Tetapi “Mush’ab yang baik” tetap tinggal tenang dengan air muka yang
tidak berubah.
Bagaikan
singa hendak menerkam, Usaid berdiri di depan Mush’ab dan Sa’ad bin Zararah,
bentaknya: “Apa maksud kalian datang ke kampung kami ini, apakah hendak
membodohi rakyat kecil kami? Tinggalkan segera tempat ini, jika tak ingin
segera nyawa kalian melayang!”
Seperti
tenang dan mantapnya samudera dalam, laksana terang dan damainya cahaya fajar,
terpancarlah ketulusan hati ”Mush’ab yang baik”, dan bergeraklah lidahnya
mengeluarkan ucapan halus, katanya “Kenapa anda tidak duduk dan mendengarkan
dulu? Seandainya anda menyukai nanti, anda dapat menerimanya. Sebaliknya jika
tidak, kami akan menghentikan apa yang tidak anda sukai itu!”
Sebenarnya Usaid seorang berakal dan berfikiran sehat.
Dan sekarang ini ia diajak oleh Mush’ab untuk berbicara dan meminta
pertimbangan kepada hati nurani sendiri. Yang dimintanya hanyalah agar ia
bersedia mendengarkan dan bukan lainnya. Jika ia menyetujui, ia akan membiarkan
Mush’ab, dan jika tidak, maka Mush’ab berjanji akan meninggalkan kampung dan
masyrakat mereka untuk mencari tempat dan masyarakat lain, dengan tidak
merugikan ataupun dirugikan orang lain.
“Sekarang
saya insaf”, ujar Usaid, lalu menjatuhkan lembingnya ke tanah dan duduk
mendengarkan. Demi Mush’ab membacakan ayat-ayat Al-Quran dan mengajarkan dakwah
yang dibawa oleh Muhammad bin Abdullah shollallahu ’alaih wa sallam, maka
dada Usaid pun mulai terbuka dan bercahaya, beralun berirama mengikuti naik
turunnya suara serta meresapi keindahannya. Dan belum lagi Mush’ab selesai dari
uraiannya. Usaidpun berseru kepadanya dan kepada sahabatnya, ”Alangkah indah
dan benarnya ucapan itu! Dan apakah yang harus dilakukan oleh orang yang hendak
masuk Agama ini?” Maka sebagai jawabannya gemuruhlah suara tahlil, serempak
seakan hendak menggoncangkan bumi. Kemudian ujar Mush’ab, ”Hendaklah ia
mensucikan diri, pakaian dan badannya, serta bersaksi bahwa tiada Tuhan yang
haq diibadahi melainkan Allah”
Beberapa lama Usaid meninggalkan mereka, kemudian kembali sambil memeras air dari rambutnya, lalu ia berdiri sambil menyatakan pengakuannya bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah.
Secepatnya
berita itu pun tersiar. Keislaman Usaid disusul oleh kehadiran Sa’ad bin
Mu’adz. dan setelah mendengarkan uraian Mush’ab, Sa’ad merasa puas dan masuk
Islam pula.
Langkah ini
disusul pula oleh Sa’ad bin Ubadah. Dan dengan keislaman mereka ini, berarti
selesailah persoalan dengan berbagai suku yang ada di Madinah. Warga kota
Madinah saling berdatangan dan tanya bertanya sesama mereka, “Jika Usaid bin
Hudlair, Saad bin ‘Ubadah dan Sa’ad bin Mu’adz telah masuk Islam, apalagi yang
kita tunggu. Ayolah kita pergi kepada Mush’ab dan beriman bersamanya! Kata
orang, kebenaran itu terpancar dari celah-celah giginya!”
Saudaraku, sungguh kehidupan Mush’ab bin
Umair sangat sesuai dengan kehidupan teladannya Nabi Muhammad shollallahu
’alaih wa sallam. Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam
digambarkan di dalam Al-Qur’an sebagai seseorang yang berambisi ”menginginkan
keimanan dan keselamatan” atas manusia. Sehingga kesibukan utamanya adalah
senantiasa mengajak manusia untuk mendekat, beriman dan taat kepada Allah.
لَقَدْ
جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ
حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya telah datang
kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu,
sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mu’min.” (QS At-Taubah ayat 128)
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakatuh
Baca Juga
Category:
MUSLIM
Comments
Cari
Entri Populer
- PENGERTIAN KOHESI DAN KOHERENSI
- PENGERTIAN KALIMAT VERBAL DAN KALIMAT NOMINAL
- CARA MENGOBATI LUKA PADA KUKU KAKI
- CANGKRIMAN
- RUMUS 16 TENSES BAHASA INGGRIS
- JOB APPLICATION LETTER ON OWN INITIATIVE
- SEJARAH PERKEMBANGAN MUSIK INDONESIA
- Cara memformat hp nokia 6600
- PENGERTIAN TAUHID DAN MACAMNYA
- PERUMUSAN DAN MAKNA PANCASILA
Leave a Reply
Tinggalkan kritik dan saran yang membangun tanpa spam, untuk perbaikan blog ini, terimakasih.